Level Ancaman: 1.01

Tragedi Trisakti yang terjadi pada 12 Mei 1998.

Rangkuman:
WHAT: Tragedi Trisakti yang terjadi pada 12 Mei 1998.
WHO: Mahasiswa Universitas Trisakti, aparat keamanan seperti Polres Jakarta Barat, Korps Brimob Polda Metro Jaya, dan Pasukan Anti-Huru-Hara Resimen Induk Kodam Jaya.
WHEN: Hari Selasa, 12-05-1998.
WHERE: Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat, DKI Jakarta.
HOW/Chronology: Ribuan massa berkumpul di halaman parkir Universitas Trisakti, menuntut reformasi politik. Aparat meminta aksi dibubarkan, tetapi ketegangan muncul dan senjata tajam digunakan. Sejumlah mahasiswa terluka dan empat mahasiswa tewas akibat tembakan.
WHY: Demontrasi mahasiswa menuntut Soeharto turun, direspons represif oleh aparat keamanan menyebabkan terjadinya Tragedi Trisakti dengan korban jiwa mahasiswa yang tewas dan terluka.

Analisis Level Ancaman

Senjata: senjata tajam
Sarana: tanpa kendaraan
Metode: terorganisir
Jaringan: nasional
Dukungan: dalam negeri
Bisnis: tak berbisnis
Skill: terlatih
Jenis Aktor: bukan negara
Kepentingan: politik
Intensitas: insidental
Komitmen: terencana
Instrumen: fisik
Target: individu sipil

Perihal: Aksi demonstrasi yang berujung pada Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998

Opini dan Prediksi: Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya peristiwa tersebut antara lain ketegangan politik, tuntutan reformasi, kritik terhadap pemerintah, dan aksi demonstrasi mahasiswa. Pelaku utama peristiwa tersebut adalah aparat keamanan yang menggunakan kekuatan yang berlebihan dan bertindak represif terhadap mahasiswa yang menuntut reformasi. Untuk mencegah terulangnya peristiwa serupa di masa depan, penting untuk memperkuat sistem keamanan yang menghormati hak asasi manusia, mendukung partisipasi masyarakat dalam proses demokratisasi, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam menanggapi tuntutan rakyat.

Level ancaman relatif terhadap keamanan nasional = 1.01

Teks asli
Iklan
TEMPO.CO, Jakarta – Aksi demonstran menuntut Soeharto turun pada 12 Mei 1998 ditanggapi represif oleh aparat. Akibatnya, puluhan pedemo luka-luka dan empat lainnya tewas. Peristiwa itu dikenang dengan nama Tragedi Trisakti.
Ada 15 orang ditetapkan sebagai terdakwa dalam kasus ini. Enam di antaranya divonis hukuman 2 sampai 10 bulan penjara pada 1998 dan 1999. Sementara sembilan lainnya didakwa pada 2002. Mereka dijebloskan ke penjara 2 sampai 3 tahun. Hukuman itu amat ringan dibandingkan empat nyawa yang hilang mahasiswa Universitas Trisakti itu.
Korban tewas adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Beberapa bagian vital tubuh mereka yakni kepala, tenggorokan, dan dada terluka parah. Luka itu diduga akibat peluru tajam yang digunakan oleh aparat.
Kapolri saat itu, Jenderal Pol Dibyo Widodo, membantah pasukannya menggunakan peluru tajam dalam operasi pengamanan. Tetapi penyelidikan di lapangan oleh Tim Gabungan Pencari Fakta atau TGPF berkata sebaliknya. Korban memang tewas karena tembakan peluru tajam.
Melansir Majalah Tempo edisi Senin, 4 Februari 2008, tragedi bermula ketika ribuan massa berkumpul di halaman parkir Universitas Trisakti pukul 11 pagi, 12 Mei 1998. Ada guru besar, dosen, mahasiswa, karyawan, dan alumni. Mereka meriung sembari menantikan orasi mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution.
Beranjak siang, aliran manusia kian deras. Hawa mulai menghangat tatkala 5.000-an mahasiswa bergantian memekikkan yel-yel. “Turunkan harga sembako! Reformasi politik! Mundurlah Soeharto!” Namun Abdul Haris batal datang. Anak-anak muda kemudian melanjutkan aksi berjalan kaki ke gedung DPR/MPR di Senayan, Jakarta Pusat. Jaraknya 10 kilometer lebih dari Kampus Trisakti di Grogol, Jakarta Barat.
Saat itu tengah hari, sekitar pukul 12.00 WIB. Baru 100-an meter keluar dari kampus, pasukan Pengendali Massa Polres Jakarta Barat, Korps Brimob Polda Metro Jaya, dan Pasukan Anti-Huru-Hara Resimen Induk Kodam Jaya menghadang barisan. Wakil mahasiswa, Dekan Fakultas Hukum Trisakti Adi Andojo, dan Komandan Kodim Jakarta Barat, Letkol (Inf.) Amril Amin, kemudian berunding.
Rembuk itu menghasilkan aksi damai hanya sampai di depan kantor lama Wali Kota Jakarta Barat. Kurang lebih 300 meter dari kampus, Adi menemui mahasiswa seusai berembuk. “Saya minta kalian berjanji tidak ada aksi kekerasan di tempat ini,” ujarnya, disambut tepuk tangan mahasiswa. Aksi berjalan tertib. Sesekali mahasiswa bercanda dengan aparat keamanan, membagikan minuman kemasan, permen, dan bunga mawar.
Sekitar pukul 16.30 WIB, aparat meminta aksi dibubarkan dan mahasiswa diminta mundur ke kampus. Sempat terjadi ketegangan. Menurut saksi dari mahasiswa, ketika mereka bergerak ke kampus, ada yang melontarkan kata-kata kotor dan makian. Seorang saksi mengatakan, sepertinya polisi sengaja memancing kemarahan mahasiswa.
Tiba-tiba dentuman senapan mengoyak udara petang hari. Mahasiswa kocar-kacir, apalagi belum semuanya masuk ke kampus. Kampus yang merupakan inner sanctum atau wilayah suci tak diindahkan oleh aparat. Berondongan senjata tak berkeputusan ke arah kampus, berlangsung hampir tiga jam. Ratusan orang terluka. Empat mahasiswa gugur akibat peluru tajam.
Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Trisakti, Semanggi 1, dan Semanggi II Punya catatan sendiri soal tragedi ini. Tak hanya menembak, aparat juga menyerang, memukul, menendang, dan melepaskan gas air mata ke mahasiswa Trisakti. Baik yang berlindung di kantor lama Wali Kota Jakarta Barat maupun yang telah kembali ke kampus.
Oditur militer kemudian mendakwa Komandan Unit II Patroli Motor Gegana Brimob, Iptu Erick Kadir Sully. Dia bersama 10 anggota Brimob ditugasi ke Polres Jakarta Barat pada hari itu. Sekitar pukul 13.30 WIB, seperti yang tercantum dalam dakwaan oditur, datang panggilan dari Wakil Kepala Polres Jakarta Barat, Mayor Herman Hamid.
Kapolres meminta mereka segera ke depan kantor wali kota untuk menghadang mahasiswa yang bergerak ke DPR/MPR. Saat itulah Erick, lagi-lagi menurut dakwaan oditur, memerintahkan anak buahnya yang bersenjata Styer kaliber 5,56 menembak ke arah massa. Pada 12 Agustus 1998 dua anggota Brimob dihukum 34 bulan penjara. Menyusul empat lainnya dengan vonis serupa pada 31 Maret 199.
Namun para jenderal yang menjadi otak operasi itu masih bebas merdeka, tak tersentuh sampai kini. Rencananya, mereka akan diadili di pengadilan hak asasi manusia pada tahap berikutnya. Faktanya, mereka hanya “dikenang” dalam ritual tahunan 12 Mei, tatkala mahasiswa menagih utang keadilan bagi nyawa empat anak muda yang mati terlalu dini.