Level Ancaman: 0.97714285714286

Protes terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang dianggap berpotensi melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan, kelompok minoritas, dan korban kekerasan berbasis gender.

Rangkuman:
WHAT: Protes terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang dianggap berpotensi melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan, kelompok minoritas, dan korban kekerasan berbasis gender.
WHO: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Anggota Komnas Perempuan Veryanto Sitohang.
WHEN: Tidak tercantum informasi spesifik mengenai waktu kejadian dalam teks.
WHERE: Jakarta.
HOW/Chronology: Komnas Perempuan mengkritik RUU Penyiaran karena dinilai berpotensi melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya. Mereka menyoroti ketentuan yang dianggap membatasi kebebasan berekspresi dan mengandung makna ambigu yang dapat mengkriminalisasi pendapat perempuan pembela HAM. Komnas Perempuan juga menyinggung bahwa RUU Penyiaran dapat menimbulkan standar ganda terutama terhadap perempuan dalam masyarakat patriarki. Mereka juga mencatat pentingnya jurnalistik investigasi dalam membantu pengungkapan kasus kekerasan gender.
WHY: Protes muncul karena RUU Penyiaran dianggap berpotensi melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan, kelompok minoritas, dan korban kekerasan berbasis gender serta menghambat kebebasan berekspresi masyarakat, terutama perempuan.

Analisis Level Ancaman

Senjata: tanpa senjata
Sarana: tanpa kendaraan
Metode: terorganisir
Jaringan: nasional
Dukungan: dalam negeri
Bisnis: tak berbisnis
Skill: terlatih
Jenis Aktor: bukan negara
Kepentingan: SARA
Intensitas: insidental
Komitmen: terencana
Instrumen: fisik
Target: individu sipil

Perihal: RUU Penyiaran berpotensi melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan, kelompok minoritas lainnya, dan masyarakat yang memiliki kerentanan menjadi korban kekerasan berbasis gender.
Opini dan Prediksi: Kejadian serupa terkait diskriminasi terhadap perempuan dan masyarakat minoritas telah terjadi di masa lalu dan masih terjadi hingga saat ini. Dengan situasi yang terus berkembang dan kompleksitas isu-isu gender, prediksi kejadian serupa di masa depan tetap mungkin terjadi. Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya kejadian serupa termasuk ketidaksetaraan gender, budaya patriarki, dan kurangnya kesadaran akan hak asasi perempuan yang memerlukan perbaikan dalam sistem hukum dan kebijakan publik.

Teks asli
Jakarta (ANTARA) – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran berpotensi melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan, kelompok minoritas lainnya, dan masyarakat yang memiliki kerentanan menjadi korban kekerasan berbasis gender.
“Ketentuan ini memperkecil ruang demokrasi dan diskriminatif terhadap kelompok rentan yang kontradiktif dengan semangat untuk melindungi kelompok rentan,” kata Anggota Komnas Perempuan Veryanto Sitohang dalam konferensi pers di Jakarta, Senin.
RUU Penyiaran juga dinilai menghalangi kebebasan berekspresi dan mengandung makna yang ambigu serta rentan mengkriminalisasi pendapat, ekspresi perempuan, dan perempuan pembela HAM.
“Soal sejauh mana aturan ini menjangkau platform digital juga bisa berpeluang mengkriminalisasi perempuan pembela HAM atau akun-akun lembaga layanan/pendamping atau pemengaruh kritis atau content creator yang mengekspresikan pendapatnya terkait isu HAM dan hak asasi perempuan di platform Youtube atau media sosial lainnya,” kata Veryanto Sitohang.
Menurut dia, isi dan konten siaran yang mengandung kesopanan, kepantasan, dan kesusilaan sebagaimana tertera pada RUU Penyiaran bisa memunculkan standar ganda dan akan membatasi kebebasan berekspresi masyarakat terutama perempuan yang dalam masyarakat patriarki dikonstruksikan sebagai ‘penjaga moral’.
Komnas Perempuan mencatat sering kali pengungkapan kasus kekerasan berbasis gender atau kekerasan menyasar kelompok rentan terbantu dengan adanya jurnalistik investigasi, seperti The Jakarta Post dan Tirto bekerja sama dengan media lokal dari Papua, Tabloid Jubi, melakukan investigasi kerusuhan di Wamena pada 2018.
Selanjutnya ada Tirto, The Jakarta Post, Vice Indonesia, dan BBC Indonesia berkolaborasi dalam investigasi kasus-kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi dan menyuarakan tagar nama baik kampus yang ikut berkontribusi terhadap pengungkapan kasus kekerasan seksual di kampus dan kebijakan seperti Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 dan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).